![]() |
| Pelabuahan Pulau Bawean (Foto: Istimewa) |
kabarbawean.com - Tradisi merantau telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Bawean. Bagi sebagian warga, keputusan pergi meninggalkan pulau bukan sekadar pilihan ekonomi, melainkan jalan hidup yang telah ditempuh turun-temurun.
Sejak puluhan tahun lalu, merantau dipahami bukan sekadar perpindahan tempat tinggal, melainkan strategi bertahan hidup yang lahir dari kondisi alam dan sosial Pulau Bawean.
Pulau Bawean memiliki karakter wilayah yang khas dan berbeda dengan daerah lain di Jawa Timur. Keterbatasan ruang hidup inilah yang sejak lama memengaruhi pola mobilitas penduduknya.
Kondisi Geografis Mendorong Mobilitas Warga
Pulau Bawean memiliki keterbatasan lahan dan sumber daya alam. Kondisi geografis tersebut membuat sektor pertanian tidak mampu sepenuhnya menopang kebutuhan ekonomi masyarakat. Situasi inilah yang mendorong warga Bawean mencari penghidupan di luar daerah.
Merantau kemudian menjadi pilihan yang rasional dan berulang. Dari generasi ke generasi, pengalaman merantau diwariskan sebagai pengetahuan sosial yang dianggap lumrah dan bahkan perlu dilakukan.
![]() |
| Peta Pulau Bawean yang terdiri dari dua kecamatan (Foto:Istimewa) |
Dalam kehidupan masyarakat Bawean, merantau tidak dilakukan secara individual semata. Keputusan pergi biasanya lahir dari pertimbangan keluarga dan pengalaman kolektif yang telah berlangsung lama.
Merantau sebagai Strategi Sosial
Dalam kajian akademik yang ditulis Abdul Hafidz berjudul Migrasi dan Filantropi Islam (Studi Kontribusi Ekonomi Orang Boyan bagi Masyarakat dan Lembaga Keagamaan di Pulau Bawean, Gresik, Jawa Timur), migrasi orang Bawean dipahami sebagai proses sosial yang terstruktur.
Merantau tidak dilakukan secara acak, melainkan melalui jaringan keluarga dan komunitas yang telah terbentuk sebelumnya.
Jaringan ini berfungsi sebagai penyangga sosial bagi perantau baru, mulai dari tempat tinggal sementara hingga akses pekerjaan. Dengan cara ini, risiko hidup di rantau dapat ditekan.
Meski jarak memisahkan, hubungan emosional orang Bawean dengan kampung halaman tidak pernah benar-benar terputus. Kampung tetap hadir dalam ingatan dan praktik kehidupan sehari-hari perantau.
Meski tinggal jauh dari Bawean, perantau tetap menjaga hubungan erat dengan kampung halaman. Kampung diposisikan sebagai pusat identitas dan simbol asal-usul.
Hubungan tersebut tercermin dari kebiasaan mengirim uang, membangun rumah, serta mendukung kegiatan sosial dan keagamaan di desa asal. Perantau Bawean sering menjadi tulang punggung ekonomi keluarga.
Hasil dari perantauan tidak berhenti di kota atau negara tujuan. Sebagian besar justru mengalir kembali ke Bawean dan memberi dampak nyata bagi kehidupan masyarakat setempat.
Kontribusi Perantau bagi Pembangunan Lokal
Kontribusi perantau memberi dampak nyata bagi perekonomian lokal. Banyak pembangunan rumah dan fasilitas sosial di Bawean bersumber dari hasil merantau.
Namun, kontribusi ini masih bersifat individual dan belum sepenuhnya terintegrasi dengan perencanaan pembangunan daerah.
Perubahan zaman membawa tantangan baru bagi generasi muda Bawean yang ingin mengikuti jejak merantau pendahulunya. Dunia kerja kini menuntut lebih dari sekadar keberanian pergi.
Di era modern, tantangan merantau semakin kompleks. Persaingan kerja menuntut keterampilan dan pendidikan yang lebih tinggi.
Jika tidak diimbangi peningkatan kualitas sumber daya manusia, tradisi merantau berpotensi menempatkan generasi muda pada sektor pekerjaan yang rentan.
Jaringan perantau Bawean yang tersebar di berbagai daerah dan negara sesungguhnya menyimpan potensi besar. Potensi ini dapat dimanfaatkan untuk mendukung pembangunan daerah asal.
Para peneliti menilai jaringan perantau Bawean merupakan modal sosial yang besar. Jika dikelola dengan baik, jaringan ini dapat mendorong investasi, pendidikan, dan pengembangan ekonomi lokal.
Merantau bukan hanya soal pergi, tetapi juga tentang membangun hubungan antara Bawean dan dunia luar.
Catatan:Artikel ini disusun berdasarkan kajian akademik dan literatur mengenai migrasi masyarakat Bawean, merujuk pada disertasi Abdul Hafidz berjudul “Migrasi dan Filantropi Islam: Studi Kontribusi Ekonomi Orang Boyan bagi Masyarakat dan Lembaga Keagamaan di Pulau Bawean, Gresik, Jawa Timur”, yang mengkaji tradisi sosial tersebut sebagai praktik yang masih berlangsung hingga saat ini.
Editor: Ahmad Faiz

