Dari Lahan Tidur ke Pasar Ekspor, Minyak Atsiri Nilam Bawean Serap Tenaga Kerja Lokal

Owner UKM minyak atseri Yusuf (kopyah putih) bersama konsultan pertanian Banjar asal trenggalek (baju hitam) di perkebunan pohon nilam desa Sungairujing Bawean (Foto:kabarbawean)

kabarbawean.com - Pemanfaatan lahan tidur di Pulau Bawean mulai membuahkan hasil nyata. Sebuah Usaha Kecil Menengah (UKM) minyak atsiri yang berlokasi di Dusun Taubat, Desa Sungai Rujing, Kecamatan Sangkapura, berkembang menjadi sentra produksi minyak nilam dan minyak nampo yang mampu menyerap tenaga kerja lokal sekaligus menembus pasar ekspor.

UKM Minyak Atsiri Bawean memproduksi dua komoditas unggulan, yakni minyak atsiri nilam dan minyak atsiri nampo. Industri ini mulai beroperasi pada Juni 2025, setelah melalui tahapan panjang sejak penanaman awal tanaman nilam pada akhir 2024.

Owner UKM Minyak Atsiri Bawean, Yusuf, mengungkapkan bahwa ide pendirian usaha ini berawal dari keprihatinannya melihat banyaknya lahan kosong di Pulau Bawean yang belum dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat.

“Ide kita muncul berawal dari kondisi Bawean dari lahan tidur yang tidak dimanfaatkan. Akhir 2023 saya bertamu dengan konsultan pertanian namanya Banjar asal Trenggalek, kami ngobrol dan diskusi tentang lahan Bawean yang nganggur agar bisa dimanfaatkan oleh masyarakat,” ujar Yusuf, Rabu (17/12/2025).

Dari diskusi tersebut, tanaman nilam dinilai paling cocok dikembangkan di Bawean karena nilai ekonominya tinggi serta sesuai dengan kondisi geografis dan iklim setempat.

Penanaman Nilam dan Penyerapan Tenaga Kerja Lokal

Penanaman nilam dimulai pada Desember 2024 dengan jumlah awal sekitar 4.000 bibit. Selanjutnya, pada Mei 2025 dilakukan penambahan 6.000 bibit, sehingga total mencapai 10.000 bibit nilam.

Seiring berjalannya waktu, pengembangan tanaman nilam tidak hanya terpusat di Desa Sungai Rujing. Yusuf menyebut pihaknya aktif mendorong masyarakat di Kecamatan Sangkapura untuk memanfaatkan lahan tidur yang selama ini terbengkalai.

“Alhamdulillah sudah ada enam desa yang menanam pohon nilam, yaitu Desa Sungai Rujing, Gunung Teguh, Kumalasa, Bululanjang, dan Pudakit Timur. Total bibit yang ditanam di enam desa tersebut mencapai 42 ribu pohon nilam,” jelasnya.

Keberadaan UKM minyak atsiri ini juga berdampak langsung pada penyerapan tenaga kerja lokal. Saat ini, sebanyak 11 warga Desa Sungai Rujing telah bekerja di UKM tersebut.

“Tujuan saya membuat UKM ini untuk menciptakan lapangan pekerjaan, dan ke depan bisa membuka lapangan kerja yang lebih besar lagi di Bawean,” kata Yusuf.

Kualitas Minyak Atsiri Nilam dan Potensi Pertanian Bawean

Konsultan pertanian asal Trenggalek, Banjar, menilai minyak atsiri nilam yang dihasilkan di Bawean memiliki kualitas di atas rata-rata kebutuhan industri.

“Proses penyulingan minyak atsiri di UKM ini menggunakan alat berkapasitas dua ton. Minyak atsiri nilam Bawean kualitasnya di atas rata-rata, kandungan patchouli alcohol sangat tinggi dan tingkat keasamannya rendah,” ungkap Banjar, Rabu (18/12/2025).

Ia menjelaskan, tanaman nilam memiliki siklus panen yang relatif cepat. Dalam satu tahun, tanaman ini dapat dipanen dua kali. Panen pertama dilakukan pada usia tujuh bulan, sedangkan panen kedua pada usia empat bulan berikutnya.

“Panennya cukup dengan memotong ranting, dan tanaman bisa bertahan dua sampai tiga tahun tergantung perawatan pemupukan dan penyiraman yang terjadwal,” jelasnya.

Menurut Banjar, tanaman nilam hanya dapat tumbuh optimal di wilayah Asia Tenggara yang beriklim tropis dan sangat cocok dikembangkan di Pulau Bawean yang masih memiliki banyak lahan kosong.

Ekspor Minyak Atsiri dan Harapan Dukungan Permodalan

Minyak atsiri nilam asal Bawean tidak hanya dipasarkan di dalam negeri, tetapi juga telah menembus pasar internasional. Yusuf menyebutkan produknya telah diekspor ke lima negara.

“Kami sudah ekspor minyak atsiri nilam ke Singapura, China, Saudi Arabia, Afrika, dan Bangladesh. Untuk pasar lokal, kami sudah kirim ke berbagai daerah di Indonesia,” ujarnya.

Dalam proses produksi, tanaman nilam dikeringkan selama tujuh hingga sembilan hari sebelum disuling. Dari satu ton nilam kering, dapat dihasilkan sekitar 20 hingga 30 kilogram minyak atsiri dengan harga sementara sekitar Rp600 ribu per kilogram. Minyak atsiri ini dimanfaatkan sebagai bahan baku industri farmasi, kosmetik, dan parfum.

Selain nilam, UKM Minyak Atsiri Bawean juga memproduksi minyak atsiri dari bahan baku umbi nampo tua. Umbi nampo dikeringkan selama empat hari sebelum disuling dan hasilnya telah diekspor ke Saudi Arabia, Afrika, dan Belanda.

Meski terus berkembang, Yusuf mengakui pihaknya masih menghadapi kendala permodalan untuk pengembangan usaha. Ia berharap adanya dukungan dari perbankan dan pemerintah.

“Kami berharap bank konvensional seperti BRI dan Bank Jatim bisa memberikan stimulan permodalan, terutama kepada petani nilam, dengan skema pengembalian setelah masa panen. Kami juga berharap CSR lebih diprioritaskan untuk petani,” ujarnya.

Yusuf menambahkan, dukungan pemerintah sangat dibutuhkan agar pengembangan tanaman nilam di Pulau Bawean dapat berjalan maksimal dan berkelanjutan.

“Kami berharap pemerintah bisa mendukung penuh petani di Bawean agar penanaman nilam bisa maksimal, dan memfasilitasi petani untuk mendapatkan bantuan modal,” pungkas Yusuf.

Editor: Ahmad Faiz        Reporter: Saiful Hasan

saiful hasan

Jurnalis di Media Kabar Bawean. “Jika tak lahir sebagai cahaya, jadilah cahaya melalui tulisan."

Lebih baru Lebih lama