![]() |
| Anjing liar di tengah hutan Bawean (Foto: Istimewa) |
kabarbawean.com - Pulau Bawean, sebuah pulau kecil di Laut Jawa, memikul tanggung jawab ekologis yang besar. Di sinilah Rusa Bawean (Axis kuhlii) satwa endemik yang tidak ditemukan di belahan dunia manapun bertahan hidup. Namun, di tengah upaya konservasi yang berjalan, ancaman serius justru datang dari predator non-alami yang selama ini kurang mendapat perhatian: anjing liar.
Status Rusa Bawean saat ini berada pada tingkat paling mengkhawatirkan. International Union for Conservation of Nature (IUCN) telah menetapkannya sebagai Critically Endangered. Penelitian Rahman et al. (2023) memperkirakan populasi individu dewasa hanya berkisar 120-277 ekor. Kajian terbaru pada 2025 bahkan menunjukkan jumlah tersebut kemungkinan telah turun di bawah 250 individu.
Masalahnya bukan hanya pada jumlah. Tingkat kelahiran Rusa Bawean sangat rendah sekitar 17 anakan per 100 betina. Dengan laju regenerasi seperti ini, kehilangan satu individu dewasa saja dapat mengguncang stabilitas populasi. Dalam konteks konservasi, Bawean kini berada di fase “kehilangan kecil, dampak besar”.
Situasi serupa juga dihadapi Babi Kutil Bawean (Sus verrucosus), satwa endemik Indonesia yang berstatus Endangered. Dengan sebaran terbatas dan konflik yang tinggi dengan manusia, kedua spesies ini berada di bawah tekanan ekologis yang kian berat.
Data Lapangan yang Mengkhawatirkan
Publikasi ilmiah dalam DSG Newsletter No.36 (Juni 2025) memberi gambaran nyata ancaman tersebut. Melalui kamera jebak yang dipasang di kawasan Cagar Alam dan Suaka Margasatwa Bawean, peneliti mendokumentasikan keberadaan anjing liar yang tersebar luas, bahkan hingga ke habitat inti satwa liar.
Peta sebaran kamera menunjukkan bahwa anjing liar bukan fenomena lokal di pinggir hutan, melainkan telah menjadi bagian dari lanskap konservasi Bawean. Fakta ini sekaligus menjelaskan mengapa Rusa Bawean kini hampir sepenuhnya terkonsentrasi di bagian barat pulau wilayah yang relatif lebih minim gangguan manusia dan anjing liar.
Lebih dari itu, peta aktivitas manusia dalam kajian tersebut mencatat sekitar 70 persen kawasan konservasi Bawean mengalami gangguan langsung. Aktivitas seperti pengambilan kayu bakar, pakan ternak, hingga perburuan masih terjadi. Dalam tujuh grid sel, perburuan teridentifikasi bersamaan dengan keberadaan anjing liar. Bahkan, perburuan menggunakan tombak masih ditemukan di dua lokasi.
Anjing liar di Bawean bukan bagian dari ekosistem alami. Mereka adalah anjing domestik (Canis familiaris) yang dilepaskan atau ditelantarkan setelah digunakan untuk berburu. Tanpa pengelolaan, anjing-anjing ini berkembang biak dan membentuk kelompok predator oportunistik.
Dalam kelompok berjumlah lima hingga tujuh ekor, anjing liar cukup untuk mengejar, melukai, bahkan membunuh satwa berukuran sedang seperti Rusa Bawean. Beberapa kasus menunjukkan rusa mati akibat kejaran anjing. Ada pula rusa yang masuk ke permukiman warga dalam kondisi stres dan kelelahan setelah dikejar dari kawasan hutan.
Ancaman ini kerap luput dari kebijakan konservasi karena tidak terlihat spektakuler. Namun, justru di situlah bahayanya: predator non-alami bekerja secara perlahan, konsisten, dan mematikan bagi populasi kecil.
Indonesia sebenarnya tidak kekurangan payung hukum. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya melarang segala bentuk aktivitas yang mengganggu keutuhan kawasan suaka alam. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 secara tegas melarang perburuan satwa dilindungi, termasuk dengan bantuan anjing pemburu.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menekankan prinsip pencegahan dini terhadap ancaman kerusakan ekosistem. Dalam konteks Bawean, pembiaran populasi anjing liar jelas bertentangan dengan semangat regulasi tersebut.
Masalahnya bukan pada ketiadaan aturan, melainkan pada lemahnya implementasi dan pengawasan di lapangan.
Konservasi yang Terancam Gagal
Tanpa pengelolaan anjing liar, berbagai upaya konservasi berisiko menjadi sia-sia. Program penangkaran dan pelepasliaran Rusa Bawean, misalnya, tidak akan efektif jika predator non-alami terus berkeliaran di kawasan hutan.
Dalam populasi yang sangat kecil, setiap individu memiliki nilai ekologis yang tinggi. Kehilangan satu rusa dewasa bukan hanya kehilangan satu satwa, melainkan hilangnya peluang regenerasi populasi di masa depan.
Pengendalian anjing liar harus menjadi bagian integral dari strategi konservasi Pulau Bawean. Pendekatan ini perlu dilakukan secara terukur dan manusiawi: pengendalian populasi anjing, pembatasan perburuan, edukasi masyarakat, serta kolaborasi antara pemerintah daerah, pengelola kawasan konservasi, peneliti, dan masyarakat lokal.
Melindungi Rusa Bawean dan Babi Kutil Bawean bukan sekadar menyelamatkan dua spesies langka. Ini adalah soal menjaga identitas ekologis Bawean dan kredibilitas Indonesia dalam konservasi keanekaragaman hayati.
Jika ancaman anjing liar terus diabaikan, kepunahan di Bawean kelak bukan disebabkan oleh ketidaktahuan, melainkan oleh pembiaran yang sistematis.
Editor: Ahmad Faiz Reporter: Saiful Hasan

