![]() |
| Syekh Khalid Bawean di ambil dari Buku Ulama Bawean dan Genealogi Keilmuan Nusantara Abad XXI-XX Karya Burhanuddin Asnawi (Foto:Ist) |
kabarbawean.com- Pulau Bawean dikenal sebagai pulau para perantau, tetapi di balik gelombang laut dan kisah perdagangan Nusantara, pulau ini juga menyimpan jejak spiritual yang mendalam. Salah satu cahaya keilmuan paling berpengaruh yang pernah bermukim di pulau ini adalah Syekh Khalid bin Syekh Khalil, seorang ulama kharismatik asal Mekah yang kemudian menjadi figur sentral dalam sejarah Islam di Desa Tambak.
Perjalanan hidupnya dari pusat peradaban Islam di Mekah hingga pesisir Bawean menjadikannya jembatan penting antara Hijaz, Nusantara, dan Bawean, serta membuka babak baru perkembangan Islam di wilayah ini.
Asal Usul Keturunan Ulama Mekah
Syekh Khalid berasal dari keluarga terpandang di Mekah. Ayahnya, Syekh Khalil bin Syekh Khalifah, dikenal sebagai ulama sekaligus pengurus jemaah haji yang diberi amanah khusus oleh pemerintah Saudi. Selama bertahun-tahun, keluarga ini menjadi tempat berteduh para jamaah dari berbagai negara, termasuk dari Nusantara. Saat Syekh Khalifah wafat, amanah mulia itu diteruskan oleh tiga putranya: Syekh Khalid, Muhammad Hibban, dan Hj. Shalehati. Fondasi keluarga yang kuat dalam ilmu, pelayanan, dan akhlak inilah yang membentuk karakter kharismatik Syekh Khalid.
Jalinan Takdir: Pertemuan dengan Jemaah Nusantara
Melalui jalur pelayaran Mekah-Malaka-Singapura, keluarga Syekh Khalil sering bersentuhan dengan jemaah haji asal Nusantara. Di antara mereka, komunitas Bawean yang aktif berdagang di Singapura memiliki hubungan paling erat. Pertemuan-pertemuan inilah yang kelak menjadi pintu kedekatan spiritual antara keluarga ulama Mekah dengan masyarakat Bawean. Takdir kemudian membawa Syekh Khalil berlabuh di Desa Tambak dan menetap hingga wafat. Jejak itulah yang kelak diikuti oleh putranya, Syekh Khalid.
Hijrahnya Syekh Khalid ke Bawean
Pada awal abad ke-20, wilayah Hijaz diguncang dinamika politik dan persaingan antar suku, ditambah intervensi Inggris. Situasi yang tidak stabil ini mendorong sebagian ulama memilih keluar untuk melanjutkan dakwahnya.
Di tengah perjalanan menyusuri rute Mekah-Malaka-Singapura, Syekh Khalid semakin dekat dengan para ulama dan perantau Bawean. Keinginan kuatnya untuk menziarahi makam ayahnya di Tambak mengantarnya ke pulau kecil itu pada sekitar tahun 1925.
Setelah itu, ia menetap di Tambak hingga wafat pada tahun 1951, menjadikan Bawean sebagai rumah dakwah terakhirnya.
Peran Besar Syekh Khalid di Desa Tambak
1. Guru Para Ulama Nusantara
Reputasinya sebagai pendidik sudah dikenal sejak di Mekah. Banyak santri Jawi (Nusantara) menimba ilmu darinya, di antaranya:
Syekh Muhammad Zainuddin qari terkenal, Kyai Abdul Hamid Pancor, Kyai Abdul Karim dari Tambak yang kemudian menjadi putra angkatnya.
Ketika menetap di Bawean, pengajaran itu berlanjut dan melahirkan generasi ulama lokal yang berpengaruh. Warisan keilmuan inilah yang menjadikan nama Syekh Khalid dihormati jauh setelah wafatnya.
2. Menghidupkan Tradisi “Ngaji Kopengan”
Berbeda dari sistem pesantren resmi, Syeikh Khalid mempraktikkan metode:
tanpa jadwal tetap, guru membaca, murid menyimak dengan penuh khidmat, dilakukan di ruang-ruang sederhana dan terbuka.
Metode ini membuat ilmu mengalir dengan alami, penuh keberkahan, dan menjadi bagian dari budaya Bawean hingga kini.
3. Membangun Masjid Raudhatul Muttaqin
Atas dorongan spiritual Syekh Khalid, masyarakat Tambak membangun Masjid Raudhatul Muttaqin, yang kini menjadi landmark keagamaan Desa Tambak. Masjid tersebut menjadi pusat syiar, sekaligus saksi bisu perjalanan dakwah beliau.
Sosok Syekh Khalid: Sederhana, Rendah Hati, dan Dekat dengan Nelayan
Meski berasal dari keluarga ulama Mekah, Syekh Khalid menjalani hidup dengan penuh kesederhanaan. Ia kerap:
mengenakan sarung dan kopiah seperti masyarakat setempat, bercengkerama dengan nelayan, ikut berperahu menyusuri laut, tinggal bersama masyarakat tanpa jarak.
Kharismanya justru terpancar dari kesederhanaan itu. Masyarakat memanggilnya dengan penuh hormat yaitu Aba Syekh panggilan yang menggambarkan kedekatan sekaligus wibawa seorang guru.
Wafat dan Warisan Spiritual Syekh Khalid Bawean
Syekh Khalid wafat pada tahun 1951 dan dimakamkan di Desa Tambak, bersebelahan dengan makam ayahnya. Hingga hari ini, makam beliau dan makam putra angkatnya, Meik dari Daun, selalu ramai diziarahi masyarakat.
Warisan beliau tetap hidup, terutama dalam: pengajian Qur’an, kajian kitab kuning, tradisi dakwah yang teduh dan moderat, kebiasaan “ngaji kopengan” yang menjadi ciri khas Bawean.
Ulama yang Menyatukan Hijaz, Nusantara, dan Bawean
Syekh Khalid bin Syekh Khalil bukan sekadar ulama yang berpindah dari Mekah ke Bawean. Ia adalah figur yang menghubungkan dua dunia: tradisi keilmuan Mekah dan kearifan lokal masyarakat pesisir Bawean.
Melalui ajaran, keteladanan, dan akhlak mulianya, ia menyalakan cahaya Islam yang hingga kini tidak padam di Desa Tambak.
Nama Aba Syekh tetap hidup menjadi simbol keilmuan, kesederhanaan, dan cahaya dakwah yang terus menerangi Bawean dari masa ke masa. (Referensi: Buku Ulama Bawean dan Genealogi Keilmuan Nusantara Abad XXI-XX Karya Burhanuddin Asnawi)
